Popular Posts

Selasa, 31 Oktober 2017

Syekh Kemas Ahmad Bin Abdullah, Sang Ulama Besar Masjid Agung Palembang

 
BP-Palembang, 16/10/2017. 
Syekh Kemas Ahmad Bin Abdullah adalah Ulama besar Masjid Agung, Palembang, tokoh Sufi dan Waliyullah. Nama lengkapnya adalah Kemas Ahmad bin Kemas Abdullah bin Kems Nuruddin bin Kemas Syahid bin Sunan Kudus. Di lahirkan di Palembang pada tahun 1735.
Pengamat sejarah kota Palembang, Kms. H. Andi Syarifuddin, Anak Sunan Kudus yang bernama Kemas Syahid bergelar Penembahan Palembang, hijrah dari pulau Jawa ke Palembang ketika terjadi perang saudara antara Demak dan Pajang yang mengakibatkan mengungsinya sekelompok anggota keluarga pelarian politik Demak.
“Dahulu Palembang dan Demak masih mempunyai hubungan keluarga. Pada saat Panembahan Palembang Raden Fatah menjadi Raja Demak (1478-1518), beliau berhasil memperbesar kekuasaannya dan menjadikan Demak Kerajaan Islam pertama di Jawa, akan tetapi kerajaan Demak tidak dapat bertahan lama karena terjadinya perang saudara . setelah kerajaan Demak mengalami kemunduran muncullah Kesultanan Pajang.

Penyerangan Kesultanan Pajang ke Demak mengakibatkan sejumlah bangsawan Demak melarikan diri kembali ketanah asal nenek moyangnya yaitu Palembang. Rombongan dari Demak yang berjumlah 80 orang ini di kepalai oleh KI. Sedo Ing Lautan (1547-1552) menetap di Palembang Lama dan mendirikan Keraton Kuto Gawang (1 ilir/Pusri Sekarang). Begitulah asal usul keluarganya,” katanya, Senin (16/10).
Sedangkan datuknya, Kemas Nuruddin di angkat menjadi Pangeran di Kesultana Palembang Darussalam. Kms. Ahmad dibesar kan dalam lingkungan keratin, dididik sedemikian rupa untuk menjadi seorang ulama.
Disamping belajar kepada ayahnya, ia juga mendapat gembelengan dari ulama-ulama besar Palembang waktu itu. Sahabat karibnya adalah Syekh Abdus Somad dan Syekh Muhammad Muhyiddin, oleh karena itu guru-guru KMS. Ahmad ini sama juga dengan guru-guru kedua sahabatnya itu.

“Oleh Sultan Mahmud Badaruddin Jaya Wikrama (SMB I), tiga serangkai ini di berikan bea siswa untuk melanjutkan pendidikannya ke tanah Arab,” katanya.
Di madinah, tiga serangkai ini menjadi murid utama Syekh Muhammad Samman, sehingga mereka di beri Ijazah untuk menyebarkan Tarekat Sammaniyah kepada siapa saja yang ingin mengambil tarekat zikir tersebut.
Selain seorang ulama , KMS. Ahmad juga adalah seorang penulis , salah satu dari karangannnya adalah ”Hikayat Andaken Penurat” yang sampai sekarang naskahnya banyak tersimpan di perpustakaan luar negeri terutama di Belanda dan London.
“Sampai usia tuanya ia kembali dan berdakwah di tanah kelahirannya Palembang, berbeda dengan Syekh Abdus Somad yang kebanyakan berdakwah di Timur Tengah sampai akhir hayatnya. Kemas Ahmad wafat dalam tahun1800 dan di makamkan di Gubah Talang Keranggo, Komplek Pemakaman yang di bangun oleh SMB I yang di peruntukan bagi kerabat Kesultanan,” katanya.

Kms. Ahmad bin Abdullah menurutnya, memiliki beberapa orang anak yang juga sebagai pengamal dan penyair Ratib Samman, namun yang terkenal di kalangan masyarakat antara lain adalah :
1. Kms.M. Said, seoarang Syuhada yang gugur dalam pertempuran Palembang dengan Belanda pada tahun 1819, di makamkan di Gubah Talang Keranggo.
2. Kms. Muhammad (1764 – 1837) menjadi guru dan mertua Sultan Mahmud Badaruddin II, juga di makamkan di Talang Keranggo.
3. Kms. Muhammad Arsyad, ulama Kesultanan , di makamkan di Talang Keranggo.
4. Kms. H. Abdullah (1775-1848) juga seorang ulama, pengarang dan pencetak kitab suci Al Quran , wafat di Mekkah tahun 1874, yang berputrakan Syekh Kemas H. Muhammad Azhari Pedatuan.
Melaului Syekh Kms. Ahmad bin Abdullah ini pulahlah, Ratib Samman berkembang di Palembang sampai sekarang. #osk
----------------------------
Sumber : 
Buku 101 Ulama Sumsel, Penulis Ustadz Kms. H. Andi Syariffudin S.Ag.
http://beritapagi.co.id/2017/10/16/syekh-kemas-ahmad-bin-abdullah-sang-ulama-besar-masjid-agung-palembang.html

Mata Uang Kesultanan Palembang Darussalam

Mata Uang Kesultanan Palembang Darussalam

 
Palembang, BP — Sebagai Kerajaan Islam yg berdaulat, tentunya Kesultanan Palembang Darussalam mendapatkan pengakuan dan legalitas dari kerajaan-kerajaan lainnya.
Legitimasi Kesultanan Palembang telah diakui oleh Kesultanan Turki Usmani (Ottoman) sebagai pusat khilafah Islamiah pada waktu itu.
Islam menjadi agama resmi kerajaan, termasuk perangkat penting Kesultanan Palembang seperti lambang dan semboyan, cap stempel, meriam, uang koin dan lainnya memiliki simbol islami, menggunakan aksara Arab-Melayu.
Menurut pengamat sejarah kota Palembang Kms. H.Andi Syarifuddin Kesultanan Palembang pada masanya dikenal sebagai negeri yg aman, makmur dan sejahtera (Darussalam).

Dalam bidang ekonomi, Kesultanan Palembang telah menjalin jaringan perdagangan ke negeri luar, bahkan sampai ke manca negara.
“Kesultanan Palembang Darussalam sudah memiliki dan mengeluarkan sendiri koin mata uang sebagai alat pembayaran yg sah, selain dolar Spanyol yg resmi berlaku saat itu,” katanya.
Menurutnya, mata uang Kesultanan Palembang disebut “pitis”. Setidaknya telah diproduksi sejak abad ke 16 M, dalam berbagai ukuran dan corak.

Uang ini bentuknya berupa logam atau koin potongan pelat yg terbuat dari coran campuran timah hitam dan timah putih. Koin ini ditengahnya ada yg memiliki lobang berbentuk kotak atau bulat, lalu dirangkai dalam ikatan paket-paket yg masing-masing pengikatnya terdiri dari 5 keping. Tidak disebutkan nilai tukarnya masing-masing.

Meskipun demikian, nilai nominal pitis ini sebagaimana menurut kesaksian orientalis Inggris, W. Marsden, dalam bukunya The History of Sumatra yang ditulisnya dalam tahun 1783, menyebutkan bahwa: 16 keping duit pitis ini nilainya sama dengan 1 dolar.
“Dalam mengukur nilai emas, 1 tail dianggap sebagai sepersepuluh kati (satu sepertiga pon) atau setara dg yang seberat dua seperempat dolar Spanyol,” “katanya.

Mata uang Kesultanan Palembang Darussalam menurutnya, bertuliskan aksara dan bahasa Arab yg dicetak hanya satu sisi bagian atasnya saja, sedangkan bagian belakangnya dibiarkan polos. Salahsatu contoh duit ini tertulis: “Al-Sultan fi balad Palembang sanah 1163” (Sultan di negeri Palembang tahun 1163 H/1749 M). #osk
--------------------------------------
Sumber:  http://beritapagi.co.id/2017/10/02/mata-uang-kesultanan-palembang-darussalam.html

Minggu, 15 Januari 2017

PANGERAN SURYA WIKRAMA SUBEKTI


Di antara makam bersejarah yg perlu mendapatkan perhatian adalah komplek pemakaman Pangeran Surya Wikrama Subekti.
Pangeran Surya Wikrama Subakti merupakan salah seorang anggota keluarga besar Kesultanan Palembang. Ayahnya adalah Suhunan Abdurrahman Candi Walang (1659-1706). Sedangkan kedua kakaknya menjadi sultan menggantikan ayahnya, yaitu: Sultan Muhammad Mansur Kebon Gede (1706-1714) dan Sultan Agung Komaruddin (1714-1724).
Pada masa pemerintahan Sultan Agung Komaruddin, ia menjabat kedudukan penting di istana, seperti:
- Wazir Sultan Agung
- Ketua Majelis Musyawarah Adat Kesultanan Palembang.
- Pembesar Kesultanan Palembang.
- Penasehat Kesultanan.
- dll.
Selama hayatnya ia ditemani oleh beberapa isterinya, diantaranya Masayu Kinawati bt R. Jayangsari bin Pangeran Sido ing Rajek, dan Raden Ayu Suruk bt Pangeran Mangkubumi Nembing Kapal. Dari pernikahannya ini ia memperoleh 26 putra-putri, diantaranya yg bergelar pangeran ialah Pangeran Surya Wikrama Raden Kerik dan Pangeran Kusuma Diwangsa Masagus Sukama.
Melalui zuriat2nya ini pula melahirkan para tokoh terkemuka dan ulama besar Palembang, seperti: Demang Wira Kusuma Masagus Muhammad Soleh, Ki. Marogan, Ki. Mgs. H. Nanang Masri, dll.
Pangeran Surya Wikrama Subekti dimakamkan di ungkonan astana Karang Manggis, lingkungan Kampung 26 ilir Palembang. Beserta saudaranya, Pangeran Panembahan Surya Dilaga & keluarga lainnya dikuburkan ditempat itu juga. (15-01-2017)
----------
Sumber:
Forum Diskusi: Sejarah dan Budaya Palembang bersama Kms. H. Andi Syarifuddin (KHAS).13/Jan/2017

MAKAM CANDI ANGSOKO





Satu lagi makam bersejarah yg perlu mendapat perhatian !
Foto dibawah ini adalah ungkonan astana makam Candi Angsoko yg terletak di kampung Candi 20 ilir Palembang (jln. Candi Angsoko), yaitu komplek pemakaman Pangeran Madi Ing Angsoko dan keluarganya. Pangeran Madi Ing Angsoko adalah raja Palembang 1596-1629 bergelar Pangeran Ratu Jamaluddin Mangkurat l. Ia menggantikan kakaknya, Kemas Adipati (1590-1595) menjadi penguasa Palembang. Sedangkan ayahnya, Kemas Anom Gede Ing Suro Mudo (1573-1590) adalah peletak dasar2 kedaulatan Kerajaan Islam Palembang, Raja yg mendirikan istana keraton Kuto Gawang, Masjid Candi Laras, & komplek pemakaman di Palembang Lamo 1 ilir.
Pangeran Madi Angsoko merupakan putra ke 4 dari 8 bersaudara, yaitu: Nyai Geding Pembayun, Ratu Mas Adipati di Jambi, Kemas Adipati (1590-1595), Pangeran Madi ing Angsoko (1596-1629), Pangeran Madi Alit (1629-1630), Pangeran Siding Puro (1630-1639), Kemas Kembar, Nyimas Kembar.
Pangeran Ratu Sultan Jamaluddin Mangkurat l ini memerintah selama 35 th. Ia tewas dianiaya orang di bawah pohon Angsoka, oleh sebab itu makamnya disebut dg Candi Angsoko. Kemudian setelah wafatnya, ia diberi gelar Pangeran Madi ing Angsoko, artinya wafat di bawah pohon Angsoka.
Menurut data laporan th 1968 dari Ketua Umum Priyai Fonds, RHM. Akib, dulu komplek gubah makam Candi Angsoko ini ada seluas 40 x 60 meter. Didalamnya terdapat makam Pangeran Ratu Jamaluddin Mangkurat Madi Angsoko beserta guru dan keluarganya. Selain itu, terdapat pula makam Pangeran tanpa puset dan keluarganya.
Sepanjang hayatnya, Pangeran Madi Angsoko beristerikan Puteri Panembahan ki. Nyamat, dan dikaruniai 2 orang anak perempuan, yaitu:
1. Ratu Mas Dipati Anom, bersuami Pangeran Adipati Anom Jambi.
2. Ratu Mas Arya, bersuami Raden Arya Jayangsari (wafat), suami kedua Pangeran Purba Negara Raden Santeri.
Kini kondisi makam Candi Angsoko ini sama nasibnya seperti makam kakaknya Nyai Geding Pembayun. Sangat miris !
-------------

Sumber:
Diskusi Sejarah dan Budaya bersama Kms. H. Andi Syarifuddin (KHAS) Plg, 4 Januari 2017

PANGERAN MANGKUBUMI NEMBING KAPAL




Foto selanjutnya dibawah ini adalah makam bersejarah yg perlu mendapat perhatian!
Dalam sejarah, tokoh pahlawan Kesultanan Palembang yg sakti & gagah berani ini dikenal dgn Pangeran Mangkubumi Nembing Kapal[1] bin Sayid Mustafa Assegaf Pangeran Purba Negara bin Sayid Ahmad Assegaf Kiai Pati. Asal usul keluarga leluhurnya merupakan pembesar dan Raja-raja di Jambi.
Ayahnya, Sayid Mustafa Assegaf yg bergelar Pangeran Purba Negara l Raden Santeri, adalah Imam Besar Masjid Lama di Keraton Beringin Janggut & sekaligus guru spiritual Suhunan Abdurrahman Candi Walang, oleh karenanya makamnya berdampingan dg Sultan Abdurrahman di astana Candi Walang (imam kubur). Sedangkan ibunya adalah Ratu Mas Arya anak Pangeran Madi Angsoko.
Dizaman pemerintahan Pangeran Siding Rajek (1652-1659) dan Suhunan Abdurrahman Candi Walang (1659-1706), ia menjabat sebagai Mangkubumi. Selain itu banyak pula tugas & jabatan lain yg diembannya, seperti:
- Ulama militan Kesultanan Palembang.
- Menantu Pangeran Siding Rajek.
- Jubir Kerajaan.
- Duta Diplomasi Kesultanan Palembang utk VOC.
- Panglima Pasukan Sabilillah, dll.

Ia mendapat gelar Pangeran Mangkubumi Nembing Kapal oleh baginda Pangeran Siding Rajek, mertuanya sendiri. Gelar "Nembing Kapal" (memiringkan kapal) mempunyai kisah heroik tersendiri. Dalam buku Sejarah Melayu Palembang (RM. Akib), dikisahkan pd th 1658, ia diutus oleh baginda menjadi jubir/duta kesultanan utk mengadakan perundingan dg VOC Belanda terkait ttg kontrak perniagaan timah, lada & kopi di atas kapal VOC di Sungai Musi. Setelah tiba di kapal, ketika ia akan naik, terlebih dahulu ia meminta kepada orang kapal itu utk memindahkan meriam yg besar2 dan benda yg berat2 dlm kapal tsb, karena ia khawatir nanti kapal itu akan tenggelam. Namun, kapiten kapal berkata: "Tidak apa tuan Pangeran boleh naik saja, sebab ini kapal besar, mustahil tuan bisa memiringkan ini kapal". Pangeran Mangkubumi diam saja, dan barulah ia melangkahkan sebelah kakinya, bergemuruhlah kapal itu miring akan karam. Lalu kapiten kapal itu dg takutnya berkata: "Ampun tuan Pangeran, nantilah sebentar kami pindahkan itu meriam. " Setelah dipindahkan semua meriam2 itu barulah dapat ia naik ke kapal dan dibuatlah kontrak perdagangan. Sepulangnya Pangeran Mangkubumi, maka bergegaslah kapal itu menaikkan jangkarnya & berlayarlah lari ketakutan meninggalkan Palembang. Pikir kapiten Belanda: "Sedangkan seorang saja dapat mengkaramkan sebuah kapal dg mudahnya juga, apalagi sekian banyak orang Palembang". Dari peristiwa inilah, maka ia dinamai Pangeran Mangkubumi Nembing Kapal.

Selama hayatnya ia menikah dgn R.A. Mangkubumi bt Pangeran Siding Rajek, & memperoleh 8 putra-putri. Makam Pangeran Mangkubumi Nembing Kapal terletak diatas tebing komplek pemakaman Ki. Gede ing Suro di Lrg H. Umar 3 ilirPalembang.
-------------

Sumber:
https://www.facebook.com/hermansuryanto.muhammaddiah/posts/1797707737145823
Diskusi Sejarah dan Budaya bersama Kms. H. Andi Syarifuddin (KHAS)Plg, 6 Januari 2017


[1] Ditinjau dari toponimi, kemungkinan griya tempat tinggal keluarga beliau dulunya adalah di samping kiri kraton Beringin Janggut menghadap ke sungai Musi, saat ini menjadi nama jalan Kebumen 16 Ilir (dari kata tempat Mangkubumi). Sedangkan ayahandanya di tempat yang bersebelahan dengan nama lorong Purban (dari kata Purba Negara)